Tuesday 13 October 2009

PERASAAN DAN EMOSI


Perasaan (feeling) dapat mempunyai dua arti.

Di tinjau secara fisiologis, perasaan berarti penginderaan, yang merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak langsung dengan dunia luar
.
Dalam arti psikologis, perasaan mempunyai fungsi nilai, yaitu penilaian terhadap suatu hal. Makna penilaian ini tampak misalnya nampak dalam ungkapan sebagai berikut ;’ saya rasa nanti sore hari akan hujan “. Ungkapan tersebut berarti bahwa menurut penilaian saya, nanti sore hari akan hujan.
Emosi di lain pihak mempunyai arti yang agak berbeda. Di dalam pengertian emosi sudah terkandung unsur perasaan yang mendalam (intense). Perasaan emosi sendiri berasal dari kata “emotus” atau “emovere” yang artinya mencerca (to strip up) yaitu sesuatu yang mendororng sesuatu. Misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati yang menyebabkan orang itu tertawa. Marah, di lain pihak merupakan suasana hati untuk menyerang atau mencerca sesuatu.

Max Scheler (dalam As’ad, 1983) membagi perasaan dalam 4 golongan, yaitu;
1. Perasaan penginderaan yaitu perasaan yang berhubungan erat dengan penginderaan, misalnya; rasa panas, dingin, sakit.
2. Perasaan vital, yaitu perasaan yang dialami berhubungan dengan keadaan tubuh, mosalnya rasa lesu, segar
3. Perasaan psikis yaitu perasaan yang menyebabkan perubahan-perubahan psikis , misalnya rasa senang, sedih.
4. Perasaan pribadi, yaitu perasaan yang di alami secara pribadi, misalnya perasaan terasing.

W. Stern membagi perasaan serbagai berikut;
1 Perasaan yang bersangkutan dengan masa kini, misalnya; perasaan senang yang diperlihatkan pada masa sekarang dalam berhubungan dengan rangsang-rangsang yang di alami pada waktu sekarang juga.
2 Perasaan yang berhubungan dengan masa lampau, misalnya perasaan senang yang timbul pada waktu sekarang yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa dimasa lampau.
3 Perasaan yang bersangkutan dengan masa yang akan datang, misalnya perasaan senang sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang akan datang.

W. Wundt juga mengadakan pembagian perasaan sebagai verikut:
1. Lust-Unlust, yaitu perasaan yang menyenangkan dn tidak menyeangkan
2. Erregung-Beuhigung, yaitu perasaan menggelora dan tenteram
3. Spannung dan Losung, yaitu perasaan perasaan tegang dan perasaan lega.



Ciri-ciri perasaan diungkapkan oleh E. B. Titchener sebagi berikut:
1. Perasaan dapat dilihat intensitasnya, yaitu kuat dan lemahnya perasaan itu, misaknya perasaan jengkel sekali, agak jengkel, sangat gembira, sedikit gembira dan sebagainya
2. Perasaan dapat dilihat kualitasnya, sehingga kita dapat membedakan perasaan sedih dan gembira, kecewa, takut dan sebagainya.
3. Perasaan menghinggapi seseorang untuk suatu jangka waktu tertentu (duration). Ada perasaan-perasaan yang sebentar menghilang, tetapi ada pula perasaan-perasaan yang bertahan lama. Suatu perasaan yang sulit dihilangkan disebut perseverasi


Suatu fungsi psikis, seperti halnya emosi, selain diperoleh sejak lahir, juga dipengaruhi oleh lingkungan, jadi merupakan suatu yang berkembang.
J. B. Watson menyatakn bahwa manusia mempunyai 3 emosi dasar, yaitu;
1. Fear yang nantinya bisa berkembang menjadi anxiety (kecemasan)
2. Rage yang berkembang antara lain menjadi anger (marah)
3. Love yang akan menjadi simpati.

Emosi dinjau dari teori psikoanalisa dapat dijelaskan secara berbeda pula. Ada dua hal yang mendasari uraian mengenai emosi menurut psikianalisa.
1. Naluri kelamin (sexual instinct) yang oleh Freud disebut sebagai libido. Libido merupakan motif utama dan fundamental, yang menjadi tenaga pendorong pada bayi-bayi yang baru lahir. Pada bayi dan anak kecil yang mendominasi tinkah laku mereka adalah prinsip kesenangan (pleasure principle) mereka mencari kesenangan dengan mengurangi ketegangan-ketegangan disekitar daerah erogen.
2. Naluri tedapat pada Ego yang merupakan lawan dari libido. Ia menganut prinsip kenyataan (reality principle) karena ia mengawasi dan menguasai libido dalam batas-batas yang dapat diterima oleh lingkungan. Di lain pihak, Ego juga berusaha memuaskan libidonya. Prinsip kenyataan ini terdapat pada orang-orang yang sudah lebih.dewasa
Macam-macam anxiety (kecemasan) menurut Freud
1. Objective anxiety
Timbu akibat lemahnya Ego terhadap Id. Objective anxiety yang pertama (primer) adalah trauma kelahiran (birth trauma).
2. Neurotic anxiety
Timbul dari objective anxiety. Khusus anvxiety ini timbul karena perasaan takut akan akibat-akibat yang mungkin timbul bilamana tuntutan-tuntutan libido dipenuhi terlebih lagi kalau akibat-akibat itu punya arti social.
Neurotic anxiety dapat empunyai dua bentuk
a. Free Floating anxiety
Keadaan kecemasan karena individu merasa takut menghadapi akibat yang buruk dalam situasi yang tidak menentu.
b. Phobia
Di sini objek yang ditakuti jelas, sekalipun alasan-alasannya tidak jelas.

3. Moral anxiety
Timbul akibat lemahnya Ego terghadao Super-Ego . Moral anxiety bersumber pada lingkungan dengan kata lain moral anxiety timbul karena perasaan takut menghadapi hukuman dari orang tua atau masyarakat.

FRUSTRASI


Dalam bertingkah laku belum tentu orang bisa mencapai tujuannya, karena untuk sampai kepada tujuan kemungkinana ada rintangan yang harus dihindari dan diatasi. Kalau seseorang tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan yang dihapadinya, sehingga tujuan dari tingkah laku tidak tercapai, atau hanya tercapai sebagian saja, maka pada orang itu akan timbul perasaan kecewa, tidak puas, atau lebih dikenal dengan istilah frustrasi.
Frustrasi adalah perasaan atau keadaan kejiwaan tertentu yang timbul pada diri seseorang manakala ia berada dalam situasi dimana kebutuhan tidak terpenuhi atau kehendak tidak terpuaskan atau tujuan tidak tercapai.

Ada beberapa mcam sumber frustrasi
1. Diri pribadi sendiri
Dalam hal ini frustrasi terjadi karena kelemahan, ketidakmampuan, atau cacat yang terjadi pada diri sendiri.
2. Keadaan lingkungan
Frustrasi yang disebabkan oleh lilngkungan, misalnya jatuh cinta pada seseorang tapi tidak ada feed back, sehingga timbul rasa kecewa yang mendalam.
3. Keadaan objek
Dalam hal ini kelihatanya tujuan sudah tercapai, tetapi tujuan atau (objek) itu tidak sesuai dengan harapan.

Frustrasi mempunyai beberapa sifat, diantaranya:
1. Frustrasi dialami oleh setiap orang, tetapi akibat dan pengaruhnya berbeda-beda secara perorangan, tergantung dari gambaran kepribadian orangnya,
2. Frustrasi mempunyai arti yang penting dalam dunia pendidikan, karena merupakan latihan bagi orang-orang yang bersangkutan untuk menghadapi tujuan-tuijuan yang todak tercapai. Kenyataan menunjukkan bahwa tujuan-tujuan seseorang tidak semuanya dapat dicapai. Karena itu seseorang yang sejak kecil tidak pernah mengalami frustrasi akan mudah sekali mengalami frustrasi kalau sedikit saja ia mengalami kesulitan. (ambang frustrasinya rendah)
3. satu kegagalan yang sama bisa menyebabkan frustrasi pada satu orang, tetaspi tidak menyebakan apa-apa pada orang lain. Ini ditentukan oleh ambang frustrasi

Frustrasi dapat menyebabkan lingkaran setan atau circuluc viciousus antara rasa cemas atau anxiety dan agresifitas. Frustrasi yang berulang-ulang dapat menimbulkan kecemasan sehingga timbul pula impuls-impuls aagresifitas dan dalam keadaan agresif biasanya tujuan lebih sulit dicapai. Hal ono menimbulkan rasa frustrasi yang lebih besar
Selanjutnya, seseorang dapat memberikan beberapa macam reaksi terhadap frustrasi, yaitu dengan Defense Machanism, alcoholism dan penyesuaian diri yang tidak adekuat.

Defense mechanism pertama kali oleh Sigmund Freud yang da;lam ajaran psikoanalisanya berpendapat bahwa Ego yang terdesak antara norma Super Ego dan dorongan Id perlu mempunyai cara untuk mengamankan diri atau mempertahankan diri dari bahaya yang mungkin timbul akibat konflik dari dua sistem kepribadian lainnya. Cara mempertahankan diri ini disebut defense mechanism yang dalam kenyataannya juga merupakan cara untuk menghapadi frustrasi.
Id adalah sebuah wash dalam jiwa manusia yang berisi dorongan-dorongan primitive yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Salah satu yang merupakan dorong-dorongan ini adalah dorongan seksual
Ego adalah yang bertugas melaksanakan dorongan-doronagan dari Id.
Super Ego adalah sistem kepribadiaan yang berisi norma-norama sosial yang berfunsi mengontrol dorongan-dorongan dari Id.


Beberapa jenis defense mechanism, antara lain:
1. Pembentukan reaksi (Reaction formation)
Dorongan dari alam ketidaksadaran yang bersifat negative (ditentang oleh Super Ego) akan diusahakan tidak terwujud keluar. Caranya adalah dengan berbuat sebaliknya dari yang dikehendaki dorongan tersebut.
Misalnya; dari rasa benci menjadi cinta
2. Proyeksi (Projection)
Dorongan dari Id seolah-olah diproyeksikan kepada orang lain, sehingga sepintas lalu nampaknya orang lainlah yang punya dorongan itu.
Misal: Orang yang yang jatuh cinta kepada seseorang, tetapi malu untuk mengakuinya lalu ia memproyeksikan atau mengalihkan kenyataan dengan mengatakan bahwa temannya yang jatuh cinta.
3. Rasionalisasi
Disini suatu kegagalan dicarikan alas an yang kira-kira masuk akal.
Misalnya: Ketika seseorang membutuhkan sesuatu, ia mengatakan bahwa “saya tidak bnutuh itu karena saya sudah punya di rumah.”
4. Pengalihan (Displacement)
Kemarahan atau kejengkelan kepada seseorang yang tidak bisa disalurkan dilimpahkan atau di tumphkan kepada objek lain atau orang lain.
5. Subtitusi dan Sublimasi
Subtitusi; ketika suatu tujuan tidak dapat dicapai, maka tujuan itu diganti dengan tujuan lain yang kira-kira sama nilainya
Misalnya; seorang yang ingin punya anak, tetapi gagal, kemudian ia mengadopsi anak
Sublilmasi; subtitusi yang menyangku norma-noram susila diaman tujuan pengganti lebih tinggi nialinya dari pada tujuan aslinya.
Misalnya: Ibu yang ingin punys snsk itu tidak mengangkat anak untuk dirinya sendiri, tetapi menjadi pengurus rumah piatu
6. Menahan dan menekan (Repression dan Suppression)
Dorongan dari Id yang tidak dikehendaki Super Ego, maka dorongan itu ditahan agar tetap tinggal dalam alam ketidaksadaran (repression). Tetapi dorongan itu kadang-kadang sudah muncul dalam alam kesadaran dan ternyata harus ditekan dan diaorong lagi kea lam ketidaksadaran (suppression)

Reaksi lain terhadap frustrasi adalah melarikan diri dari frustrasi dengan cara banyak minum alkohol yang disebut sebagai alkoholisme bahkan kadang-kadang bisa sampai ke reaksi yang lebih parah yaitu dengan memakai obat-obatan narkotika.
Orang-orang lain yang tidak menyusun defense mechanism maupun tidak memberikan reaksi alkoholisme dalam keadaan frustrasi (terutama yang terus-menerus) dapat jika menyusun reaksi penyesuaian diri yang tidak adekuat. Dalam hal ini maka tingkah laku seseorang yang bersangkutan tidak lagi sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Thursday 10 September 2009

d' Champion

JUARA sejati adalah ORang YAng mau mengakui kekalahannya........!!!
TAnpa DENDAM....., TAnpa Penyesalan...!!
JUAra SEjati ADalah Orang yang mampu bangkit dari kekalahan...!!
Menjadikan kekalahan sebagai pembelajaran, dan dorongan Untuk berusaha menjadi JUARA bERikutnya....!!


SALAM DARIKU "JUARA BALAP KAROENG"

Wednesday 15 April 2009

manajer

http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2006/jiunkpe-ns-s1-2006-51401135-3858-auto-chapter2.pdf.( Universitas Kristen Petra)
2.1.2. Karyawan
Menurut Undang-undang No.14 Tahun 1969 pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, pada pasal 4 disebutkan bahwa karyawan/pegawai adalah seseorang pekerja tetap yang bekerja di bawah perintah orang lain dan mendapat kompensasi serta jaminan. Hasibuan (2005, p.12) menjelaskan bahwa karyawan adalah penjual jasa (pikiran dan tenaganya) dan mendapat kompensasi yang besarnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Dalam hal ini, karyawan wajib dan terikat untuk mengerjakan pekerjaan yang diberikan dan berhak memperoleh kompensasi sesuai dengan perjanjian. Posisi karyawan dalam suatu perusahaan dibedakan atas karyawan operasional dan karyawan manajerial (pimpinan).
1. Karyawan operasional
Karyawan operasional adalah setiap orang yang secara langsung harus mengerjakan sendiri pekerjaannya sesuai dengan perintah atasan.
2. Karyawan manajerial
Karyawan manajerial adalah setiap orang yang berhak memerintah bawahanya untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya dan dikerjakan sesuai dengan perintah. Mereka mencapai tujuannya melalui kegiatan-kegiatan orang lain. Karyawan manajerial ini dibedakan atas manajer lini dan manajer staf.

a. Manajer lini
Manajer lini adalah seorang pemimpin yang mempunyai wewenang lini
(line authority), berhak dan bertanggung jawab langsung merealisasi tujuan perusahaan.
b. Manajer staf
Manajer staf adalah pemimpin yang mempunyai wewenang staf (staff authority) yang hanya berhak memberikan saran dan pelayanan untuk memperlancar penyelesaian tugas-tugas manajer lini.
Jadi, pengertian tenaga kerja lebih luas daripada pengertian karyawan, karena tenaga kerja orang yang bekerja di dalam maupun di luar hubungan kerja. Ciri khas hubungan kerja adalah tenaga kerja itu bekerja di bawah perintah orang lain dengan menerima balas jasa (Hasibuan, 2005, p.12)

Friday 27 March 2009

dp

DAFTAR PUSTAKA

Alma. Buchari. 2001, “ Kewirausahaan “.Bandung: CV. Alfabeta.
Asnawi, S. 2002. Teori motivasi (dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi). Jakarta: Studio Press.
Amstrong, M. 2003. Mengelola Karyawan Buku Wajib bagi Manajer Lini. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Anggraini, C. 2008. Perbedaan Motivasi Kerja Berdasarkan Status Karyawan: Kontrak dan Tetap pada PT. Daya Manunggal Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas PSikologi UKSW.
Wexley, K.N. and Yukl, G.A. 1977. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Jilid 1. Jakarta: Bina Aksara.
Anwar, R.M. 1993. Prinsip-Prinsip Manajemen Suatu Analisa dari Fungsi dan Kepemimpinan. Jakarta: Bharata.

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta : Rineka Cipta.
Azwar, S. 1998. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Liberty.
_______.1999. Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Gibson, J. L.1983. Organisasi dan Manajemen. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga.
Ghozali, Imam & Yusfaningrum, K. 2006. Pengaruh Partisipai Anggaran Terhadap kinerja Manajerial Melalui komitmen Tujuan Anggaran dan Job Relevant Informasi Sebagai Variabel Intervening. Jakarta: Bagian Publikasi Lembaga Management FEUI

Moh. As’ad.1981, “ Psikologi Industri “.Yogyakarta: Liberty.

Munizu, Musran. 2003. PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PRESTASI KERJA KARYAWAN OPERASIONAL PT. PLN (Persero) CABANG MAKASSAR. Makassar: Lembaga Penelitian UNHAS http://www.unhas.ac.id/lemlit/researches/view/36.html
Rahayuningsih, D. A. 2006. Analisis Budaya Organisasi, Kepuasan Gaji, Kepuasan Kerja, Motivasi, Gender, dan Latar Belakang Pendidikan dalam Produktivitas Kerja Staf Akunting: Studi Empiris. Jakarta: Usahawan Indonesia.
Sudjono. 1987. Desain dan Analisis Eksperimen Edisi ke-4. bandung : Tarsito.
Satiti, F. R. 2007. Perbedaan Motivasi Kerja Berdasarkan Tipe Kepribadian Tipe A dan Tipe B. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW
Winardi. 2000. “ Kepemimpinan Dalam Manajemen “.Jakarta: PT. Rineka. ______.2001.” Motivasi Dan Permotivasian dalam Manajemen “.Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Simatupang, A. 2007. Strategi Manajemen Peningkatan Produktivitas dengan Meningkatkan Motivasi dan Insentif Karyawan di PT.XXX. Jakarta: http://tumoutou.net/mm_ku/sm/0667/apriani_simatupang1.pdf.

Sugiyono. 1997. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Suryabrata, S. 1984. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sperling, A. 1967. Psychology: Made Simple. London: The Publisher. W. H. Allen & Co.
Touselak, I. A. 2007. Perbedaan Motivasi Kerja Ditinjau Dari Jenis Kelamin. Skripsi. (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Yuwono, I, dkk. 2005. “ Psikologi Industri Dan Organisasi “. Surabaya:
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Hadi, S. 1991. Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Hadi, S. 1992. Statistik 2. Yogyakarta : Andi Offset.
Gomes, F.C. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset.
Yuwono, dkk. 2005. Psikologi Industri dan Organisasi. Surabaya: Fakultas Psikologi Airlangga.
Iskak, J, dkk. 2005. Program Kompensasi: Pembagian Laba Ditinjau dari Teori Motivasi dan Ekspektasi. Jakarta: Usahawan Indonesia.
Wijono, Sutarto.2000. Hubungan Antara Motivasi Kerja dengan Prestasi Kerja di Sebuah Perusahaan. Jurnal Psikologi Vol 6. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.

Monday 2 March 2009

Motivasi Kerja
dalam konteks Psikologi Organisasi

Ditulis oleh: Judithia A. Wirawan, Psi., Msi


Definisi motivasi adalah“a set of energetic forces that originates both within as well as beyond an individual’s being, to initiate work-related behaviour, and to determine its form, direction, intensity, and duration” (Pinder, dalam Donovan, 2001, p.53). Diterjemahkan secara bebas, Motivasi adalah sekelompok pendorong yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

berasal baik dari dalam maupun dari luar individu;
dapat menimbulkan perilaku bekerja;
dan juga dapat menentukan bentuk, tujuan, intensitas, dan lamanya perilaku bekerja tadi.
Dalam lingkup Psikologi Organisasi, ada beberapa teori mengenai motivasi. Masing-masing teori berusaha menerangkan hal-hal apa yang dapat memotivasi karyawan dalam suatu organisasi untuk bekerja lebih optimal. Di bawah ini akan dibahas beberapa dari teori-teori tersebut.



Organizational Justice (Keadilan Organisasi)
Karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil. Dalam artikel ini, dua sudut pandang mengenai keadilan akan digunakan:

Menurut Equity Theory (Adams, dalam Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka kontribusikan.
Cara lain untuk melihat Keadilan Organisasi adalah melalui konsep Procedural Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan, 2001).
Contoh Kasus: Setelah adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran, motivasi pekerja di sebuah perusahaan biasanya cukup rendah. Ini bisa jadi disebabkan karena karyawan mempersepsi adanya ketidakadilan, baik dari sudut pandang Equity Theory maupun Procedural Justice. Ketika perusahaan memecat karyawan yang telah memberikan kontribusi berupa kerja keras dan keahlian, karyawan mempersepsi bahwa ketidakadilan telah terjadi.

Situasi bisa diperburuk melalui prosedur PHK. Seringkali, alasan mengapa PHK dilakukan hanya diberikan melalui memo atau penjelasan singkat dari manajemen level bawah, tanpa adanya pertemuan tatap muka dengan para pembuat keputusan di manajemen level atas, sehingga karyawan tidak memiliki kesempatan untuk bertanya atau memberikan pendapatnya. Dalam situasi seperti ini, karyawan tidak diberikan cukup kesempatan untuk membentuk justifikasi kognitif dalam benak mereka mengenai mengapa PHK itu diperlukan. Hal ini patut disayangkan karena penelitian telah menunjukkan bahwa digunakannya penjelasan yang masuk akal disertai empati cenderung dapat meminimalkan efek negatif dari keadaan yang tidak adil (Greenberg, 1990).

Equity Theory juga menjelaskan bahwa setelah persepsi ketidakadilan terbentuk, karyawan akan mencoba meraih kembali keadilan dengan mengurangi jumlah kontribusi mereka (Adams, dalam Donovan, 2001). Misalnya, karyawan bisa saja mulai datang terlambat ke kantor atau bahkan absen sama sekali, dengan tujuan mengurangi waktu dan kerja keras yang mereka kontribusikan pada perusahaan.

Menurut Withdrawal Progression Model, para pekerja di atas kemungkinan akan memulai reaksi mereka dengan tindakan-tindakan ringan seperti datang terlambat, sebelum beralih ke tindakan yang lebih berat, seperti absen, dan pada akhirnya keluar dari perusahaan (Johns, 2001). Memang belum tentu semua karyawan yang tidak puas akan keluar dari perusahaan, karena masih ada factor-faktor lain yang turut mempengaruhi seperti tingkat pengangguran di lokasi tersebut serta tingkat ketersediaan pekerjaan lain yang dianggap menarik oleh para karyawan tersebut (Hom and Kinicki, 2001). Namun, bahkan dalam situasi di mana karyawan tidak dapat keluar dari perusahaan, mereka akan terus melanjutkan pelanggaran-pelanggaran selama mereka masih merasa tidak puas (Johns, 2001). Ini tentu saja merupakan sesuatu yang sulit diterima oleh perusahaan. Karena itu, beberapa rekomendasi akan diberikan dalam Contoh Kasus ini untuk mengurangi perilaku dan sikap yang tidak diinginkan ini.

Rekomendasi: Pertemuan karyawan dengan manajemen serta peninjauan kembali kebijakan perusahaan. Seperti yang telah dijelaskan dalam teori Organisational Justice (Keadilan Organisasi), ketika karyawan mempersepsi adanya ketidakadilan, mereka akan mengambil tindakan terhadap organisasi dengan tujuan meraih kembali keadilan (Adams, dalam Donovan, 2001). Persepsi ketidakadilan ini mungkin dapat dikurangi dengan memberikan alasan-alasan yang masuk akal mengenai mengapa ketidakadilan tersebut harus terjadi (Greenberg, 1990). Berdasarkan penelitian Greenberg (1990), penjelasan yang efektif haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut: otoritas yang tertinggi harus jujur dan menunjukkan empati terhadap para pekerja; dan keputusan yang diambil dapat dijustifikasi berdasarkan informasi yang cukup.

Kriteria-kriteria ini jika diterapkan dalam Contoh Kasus di atas mungkin akan dapat mengurangi efek negatifnya. Pertemuan dengan tujuan untuk memberikan penjelasan mengenai PHK pada seluruh karyawan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin dengan kriteria sebagai berikut:

Penjelasan diberikan oleh manajemen level atas.
Para manajer dengan bersungguh-sungguh menunjukkan empati terhadap para pekerja, misalnya dengan mengucapkan bahwa mereka mengerti bagaimana perasaan para pekerja dengan adanya PHK.
Alasan-alasan PHK dijelaskan secara detil, jika perlu didukung data finansial yang menjustifikasi PHK sebagai jalan terbaik untuk menghindarkan perusaan dari kebangkrutan
Semua karyawan diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapat mengenai PHK
Setelah melakukan kegiatan di atas, untuk menghindari adanya persepsi ketidakadilan di masa yang akan datang, perusahaan dapat melakukan peninjauan kebijakan-kebijakan mereka yang berlaku saat ini. Kebijakan perlu diubah jika ada potensi untuk menimbulkan ketidakadilan, misalnya karyawan dari kelompok yang berbeda diperlakukan berbeda dalam proses PHK (mendapat kompensasi yang berbeda, atau hanya kelompok tertentu yang berhak mendapat konseling, dsb).



Job Characteristic Model dan Goal Setting (Model Karakteristik Pekerjaan dan Penetapan Target)
Job Characteristic Model menjelaskan bahwa motivasi yang tinggi dapat diraih melalui karakteristik dari pekerjaan itu sendiri (Judge et al, 2001). Karakteristik pekerjaan yang dianggap paling penting untuk memotivasi karyawan adalah task identity (identitas tugas), task significance (signifikansi tugas), skill variety (variasi keahlian), autonomy (otonomi), and feedback (umpan balik) (Judge et al, 2001).


Contoh Kasus: Di sebuah pabrik pengalengan soda yang menggunakan sistem ban berjalan, banyak pekerjaan tidak memenuhi persyaratan karakteristik seperti yang disebutkan di atas. Misalnya, sekelompok pekerja hanya diberi tugas menjalankan mesin pengisi kaleng. Karakteristik pekerjaan mereka sebagai pengisi kaleng soda adalah sebagai berikut:

Task identity (identitas tugas): Karena pekerja hanya bertugas mengisi kaleng, mereka tidak dapat melihat keseluruhan proses kerja mulai dari awal (ketika kaleng-kaleng kosong diantarkan ke pabrik) hingga akhir (ketika dus-dus berisi soda kaleng diangkat ke truk, siap diantarkan).
Task significance (signifikansi tugas): Para pekerja bisa jadi merasa bahwa pekerjaan mereka tidaklah penting, karena mereka tidak bisa melihat bagaimana pekerjaan mereka pada akhirnya mempengaruhi karyawan lain di perusahaan tersebut atau pembeli soda kaleng.
Skill variety (variasi keahlian): Pekerjaan ini hanya membutuhkan satu jenis keahlian, yaitu mengisi kaleng soda.
Autonomy (otonomi): Para pekerja tidak memiliki pilihan atau kontrol dalam pekerjaan mereka karena mereka harus terus mengisi kaleng yang datang dari ban berjalan.
Feedback (umpan balik): Para pekerja tidak mendapatkan umpan balik sehingga mereka tidak mengetahui apakah mereka telah bekerja dengan baik atau tidak.
Dalam situasi seperti ini, para pekerja tidak mempunyai alasan untuk merasa antusias, termotivasi, atau merasa puas akan pekerjaan mereka. Perbedaan individual tetaplah mempengaruhi sehingga ada orang yang tidak terlalu peduli pada karakteristik dari pekerjaan mereka. Namun penelitian menunjukkan bahwa karakteristik intrisik pekerjaan tetap memiliki korelasi dengan kepuasan kerja, bahkan bagi mereka yang tidak terlalu menginginkan pertumbuhan diri pribadi (Judge et al, 2001).


Selain karakteristik pekerjaan itu sendiri, aspek lain dari tempat kerja yang dapat mempengaruhi motivasi adalah Goal Setting (Penetapan Target). Menurut prinsip Penetapan Target, karyawan akan termotivasi untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi jika mereka memiliki target yang spesifik (Locke & Latham, dalam Donovan, 2001).


Melanjutkan contoh sebelumnya (pabrik pengalengan soda), para pekerja hanya bekerja sesuai dengan bahan yang ada di atas ban berjalan. Sulit bagi perusahaan untuk menentukan target yang spesifik untuk setiap kelompok pekerja karena masing-masing kelompok tergantung pada kelompok sebelumnya, misalnya tidak mungkin bagi perusahaan menentukan target 1000 kaleng disegel setiap jamnya bagi kelompok penyegel jika kelompok pengisi hanya dapat mengisi 750 kaleng per jam. Akhirnya, perusahaan hanya dapat memberikan target yang tidak spesifik (misalnya ”Bekerjalah sebaik mungkin”) untuk semua kelompok. Hal ini patut disayangkan karena tidak dapat memotivasi pekerja untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi (Locke & Latham, dalam Donovan, 2001).
Setelah membahas bahwa karakteristik pekerjaan dan penetapan target dapat mempengaruhi motivasi kerja seperti terjadi dalam Contoh Kasus di atas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana caranya kita memperbaiki keadaan yang ada.


Rekomendasi: Job Enrichment (Pengayaan Pekerjaan) dan Goal Setting (Penetapan Target). Metode paling popular untuk menerapkan Job Characteristic Model adalah Job Enrichment. Metode ini telah digunakan dengan cukup sukses di banyak perusahaan sejak tahun 70-an seperti AT&T dan Western Union di Amerika Serikat, Norsk Hydro di Norwegia, dan Volvo Corporation di Swedia (Australian Department of Labour, 1974).


Seperti layaknya solusi-solusi lain di dunia kerja, Job Enrichment tentu saja tidak dapat dianggap obat yang dapat menyembuhkan segala jenis penyakit. Secara khusus Landy (1989) menyebutkan bahwa Job Enrichment justru dapat merugikan para pekerja yang telah terstimulasi secara optimal dalam pekerjaannya. Pekerja yang telah optimal seperti ini akan mengalami overstimulasi jika pekerjaannya disertakan dalam program Job Enrichment (Landy, 1989). Karena Contoh Kasus kita di atas lebih banyak mencakup pekerja yang mendapatkan tugas yang mudah dan repetitif, Job Enrichment sangat cocok untuk diterapkan. Lebih baik lagi jika program ini digabungkan dengan Penetapan Target, sehingga target yang ditetapkan dapat dirancang sesuai dengan pekerjaan yang telah melalui program Job Enrichment.


Sejalan dengan lima karakteristik pekerjaan yang dibahas dalam teori Job Characteristic Model (Judge et al, 2001), program Job Enrichment dan Penetapan Target yang direkomendasikan adalah sebagai berikut:

Mengelompokkan pekerja dalam tim yang baru: Saat ini pekerja dikelompokkan berdasarkan langkah tertentu dalam proses ban berjalan, misalnya kelompok pengisi kaleng, penyegel kaleng, pengisi dus, dsb. Tim yang direkomendasikan adalah tim yang terdiri dari orang-orang dengan keahlian yang berbeda. Masing-masing tim akan diberi tanggung jawab untuk memenuhi pesanan pelanggan tertentu. Dengan cara ini, task identity dan task significance akan meningkat bagi semua pekerja, karena mereka dapat melihat keseluruhan proses mulai dari awal hingga akhir, dan juga mereka dapat melihat bahwa apa yang mereka lakukan adalah penting bagi rekan-rekan sesama tim maupun pelanggan (Judge et al, 2001). Selain itu, autonomy juga dapat meningkat karena masing-masing tim dapat menentukan bagaimana cara yang terbaik bagi mereka untuk menyelesaikan pekerjaan mereka (Judge et al, 2001). Misalnya anggota tim dapat menentukan pembagian tugas di antara mereka. Salah satu konsekuensi dari program ini adalah adanya kemungkinan mesin-mesin dalam pabrik harus dipindahkan sesuai dengan pengelompokkan tim yang baru ini. Untuk itu, dibutuhkan analisis finansial untuk menentukan apakah perusahaan mampu membiayai hal ini.
Meningkatkan keahlian pekerja: Sejalan dengan tim yang baru, masing-masing pekerja kini harus menguasai lebih dari satu keahlian dalam keseluruhan proses kerja di perusahaan. Karena itu, mereka harus belajar dari rekan sesama anggota tim (coaching), ataupun dari pelatihan yang diadakan oleh perusahaan. Manajemen perusahaan harus memformalkan proses belajar ini untuk memastikan bahwa semua pekerja memiliki waktu dan kesempatan untuk meningkatkan keahliannya (misalnya dengan menetapkan satu jam pertama dari setiap shift kerja sebagai waktu coaching). Sebagai konsekuensinya, hasil kerja kemungkinan akan menurun untuk beberapa saat karena para pekerja masih berusaha mempelajari keahlian yang baru. Namun hal ini tidak akan berlangsung lama karena keahlian-keahlian yang dibutuhkan dalam Contoh Kasus di atas bukanlah keahlian yang rumit.
Tetapkan target: Target haruslah spesifik dan cukup sulit sehingga pekerja termotivasi untuk mencapainya (Locke & Latham, dalam Donovan, 2001). Jika memungkinkan, lebih baik seluruh anggota tim diikutsertakan dalam menetapkan target bagi tim tersebut. Menurut penelitian, Penetapan Target yang melibatkan partisipasi anggota tim akan menciptakan response generalisation (Ludwig & Geller, 1997). Maksudnya adalah bahwa motivasi untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi tidak hanya terjadi pada tugas yang ditargetkan, tapi juga terjadi pada tugas lainnya (Ludwig & Geller, 1997).
Berikan umpan balik: Para pekerja harus diberi informasi mengenai prestasi kerja mereka. Umpan balik ini bisa diberikan secara rutin, atau ketika ada kejadian khusus yang efeknya signifikan bagi perusahaan (Wright, 1991). Penetapan Target sangatlah berkaitan dengan pemberian Umpan Balik karena Target tanpa Umpan Balik tidaklah efektif (Ludwig & Geller, 1997), dan juga sangat sulit memberikan Umpan Balik jika sejak awal tidak ada Target yang dapat dijadikan kriteria evaluasi (Wright, 1991). Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menciptakan mekanisme untuk mencatat prestasi kerja, baik dari segi kuantitas (misalnya jumlah dus yang dikirim per hari atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu dus soda) maupun kualitas (misalnya tim mana yang banyak dipuji pelanggan karena tidak pernah melakukan kesalahan dalam memenuhi pesanan).


Expectancy Theory (Teori Harapan)
Menurut Vroom (dalam Donovan, 2001), orang termotivasi untuk melakukan perilaku tertentu berdasarkan tiga persepsi:

Expectancy: seberapa besar kemungkinan jika mereka melakukan perilaku tertentu mereka akan mendapatkan hasil kerja yang diharapkan (yaitu prestasi kerja yang tinggi)
Instrumentality: seberapa besar hubungan antara prestasi kerja dengan hasil kerja yang lebih tinggi (yaitu penghasilan, baik berupa gaji ataupun hal lain yang diberikan perusahaan seperti asuransi kesehatan, transportasi, dsb)
Valence: seberapa penting si pekerja menilai penghasilan yang diberikan perusahaan kepadanya
Contoh Kasus: Kita akan menggunakan Contoh Kasus PHK seperti yang telah digunakan sebelumnya. Dari sudut pandang Expectancy Theory, para pekerja tidak termotivasi untuk bekerja keras karena tidak adanya hubungan antara prestasi kerja dengan penghasilan. Persepsi mereka adalah bahwa kerja keras tidak akan memberikan mereka penghasilan yang diharapkan. Malahan, dengan adanya PHK, mereka memiliki persepsi bahwa walaupun telah bekerja keras, kadang-kadang mereka malah mendatangkan hasil yang tidak diinginkan, misalnya PHK. Konsisten dengan teori ini, para pekerja pun menunjukkan motivasi yang rendah dalam melakukan pekerjannya.


Rekomendasi: Kaitkan penghasilan dengan prestasi. Sesuai dengan Expectancy Theory (Vroom, dalam Donovan, 2001), tiga hal akan direkomendasikan untuk perusahaan dalam Contoh Kasus kita:

Tingkatkan Expectancy: Para pekerja perlu merasa bahwa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi. Jika perlu, perusahaan perlu memberikan pelatihan untuk memastikan bahwa para karyawan memang memiliki keahlian yang dituntut oleh masing-masing pekerjaannya.
Tingkatkan Instrumentality: Ciptakan reward system yang terkait dengan prestasi. Misalnya, selain gaji pokok, tim yang berhasil mencapai targetnya secara konsisten akan mendapatkan bonus. Dengan cara ini, para karyawan mengetahui bahwa prestasi yang lebih baik memang benar akan mendatangkan penghasilan yang lebih baik pula.
Tingkatkan Valence: Karena masing-masing individu memiliki penilaian yang berbeda, sangatlah sulit bagi perusahaan untuk merancang reward system yang memiliki nilai tinggi bagi setiap individu karyawan. Salah satu cara mengatasi hal ini adalah dengan memberikan poin bonus yang bisa ditukarkan dengan berbagai jenis hal sesuai kebutuhan individu, misalnya poin bonus bisa ditukarkan dengan hari cuti, uang, kupon makan, dsb. Konsekuensi dari program ini adalah perusahaan harus menerapkan sistem pencatatan yang rapi untuk memastikan bahwa masing-masing karyawan mendapatkan poin bonus secara adil.

DAFTAR PUSTAKA
Australian Department of Labour (1974). Job Enrichment and Job Satisfaction: Selected Overseas Studies. Canberra: Australian Government Publishing Service.

Donovan, J.J. (2001). Work motivation. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications.

Greenberg, J. (1990). Employee theft as a reaction to underpayment inequity: The hidden cost of paycuts. Journal of Applied Psychology, 75, 5, 561-568.

Hom, P.W., & Kinicki, A.J. (2001). Toward a greater understanding of how dissatisfaction drives employee turnover. Academy of Management Journal, 44, 975-987.

Johns, G. (2001). The psychology of lateness, absenteeism, and turnover. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 232-252). London: Sage Publications.

Judge, T.A., Parker, S., Colbert, A.E., Heller, D., & Ilies, R. (2001). Job satisfaction: A cross-cultural review. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 25-52). London: Sage Publications.

Landy, F.J. (1989). Psychology of Work Behavior. (4th ed.). Pacific Grove, California: Brooks/ Cole Publishing Company

Ludwig, T.D., & Geller, E.S. (1997). Assigned versus participative goal setting and response generalization: Managing injury control among professional pizza deliverers. Journal of Applied Psychology, 82, 253, 253-261.

Wright, P.L. (1991) Motivation in organizations. In M. Smith (Ed), Analysing Organizational Behaviour (pp. 77-102). London: Macmillan Education Ltd.


http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/motivasi.html