Thursday 26 July 2007

free sex anjal...

Senin, 02 September 2002, 10:50 WIB


Seks Bebas Anak Jalanan: Suka Sama Suka, Dipaksa dan Kontrasepsi Eksklusif..!

Jakarta, KCM

  • Mengamen di jalanan, itulah yang kita tahu tentang mereka. Padahal ada dunia tersendiri yang mereka geluti. Termasuk menjalani kehidupan seks bebas pada usia sangat muda, secara paksa maupun suka sama suka, semata agar diterima sebagai anggota.

Organ reproduksi anak jalanan (Anjal) perempuan sering menjadi sasaran kekerasan seksual dan rentan terhadap penularan penyakit seksual, termasuk HIV/AIDS, akibat seks bebas yang tidak aman.

Namun hingga sekarang risiko tersebut belum atau bahkan tidak disadari sama sekali. Hal ini karena sebagian besar anak jalanan belum tahu, bahkan tidak tahu sama sekali tentang penyakit yang disebarkan melalui pertukaran cairan tubuh itu. Adapun pelaku kekerasan seksual biasanya berasal dari kalangan mereka sendiri, yakni anak jalanan laki-laki yang rata-rata juga tidak memahami risiko dimaksud.

Seperti yang dikatakan oleh Jumi (23), warga Magelang yang mengaku menjadi anak jalanan selama tujuh tahun dan kini mangkal di perempatan toko buku Gramedia Yogya ini tampak bingung ketika ditanya apakah ia tahu tentang HIV/ AIDS. "Penyakit apa itu? Jangankan tahu, mendengar namanya saja juga baru sekarang," katanya sambil duduk santai di trotoar sembari memeluk lutut.

Jawaban semacam itu tidak hanya diberikan oleh Jumi tetapi juga dituturkan anak jalanan perempuan lainnya, seperti Atun (19) yang mangkal di jalan Malioboro dan Marni (21) yang ditemui di stasiun kereta api Lempuyangan.

Syaratnya Mau Melayani…

  • Kenyataan bahwa pada umumnya anak jalanan perempuan tidak tahu masalah HIV/AIDS sangat memprihatinkan, karena perilaku seks mereka rentan terhadap penyakit yang belum bisa disembuhkan itu.

Hal itu bisa berakibat fatal bagi kesehatan reproduksi mereka, sebab di dalam komunitas anak jalanan di Yogya ada kecenderungan kuat perilaku seks bebas yang tidak aman.

Dalam perilaku seks bebas, anak jalanan perempuan kerap ditempatkan pada posisi tidak berdaya. Selaindilakukan berdasarkan suka sama suka, adasebagian anak jalanan perempuan yang ternyata melakukan seks bebas karena paksaan.

Suatu penelitian tentang perilaku seks bebas anak jalanan di kawasan stasiun kereta api Lempuyangan Yogya, menemukan adanya peraturan tidak tertulis di kalangan mereka yang sangat diskriminatif dan merugikan perempuan. Yaitu, bahwa sebagian persyaratan menjadi anggota kelompok anak jalanan, perempuan harus mau melayani anak jalanan laki-laki yang sudah lebih dulu berada dalam kelompok tersebut.

Tidak Ada Pilihan…

  • Meskipun tidak semua anak jalanan perempuan mengalami kekerasan dimarjinalkan sebagai obyek pemuas hasrat seks, tetapi Ginah (17) yang telah dua tahun menjadi anak jalanan di Yogya membenarkan adanya kekerasan yang sulit dihindari itu.

Warga Pacitan ini tidak sanggup berontak bahkan mengaku tidak mampu lagi untuk menyatakan keberatan untuk melakukan seks bebas, karena tidak ada pilihan lain baginya jika ingin diterima oleh dunia jalanan di Yogya. Menurutnya, hanya dunia jalanan itulah yang bisa menampung dirinya agar bisa mendapat penghasilan dengan cara mengamen demi mempertahankan hidup.

Gadis itu mencoba memberikan alasan yang sebenarnya klise, yakni tidak memiliki keterampilan dan hanya jebolan kelas 4 SD. Ia menyadari bahwa pekerjaan ngamen dan hidup di jalanan adalah kondisi yang minim dari hitungan harga diri. Tetapi ia tetap tidak mau mencari kerja lain yang lebih layak. Misalnya, sebagai pembantu rumah tangga atau bekerja di sawah.

Dunia anak jalanan lebih memberinya kenyamanan dengan tingkat solidaritas yang tinggi kendati ada diskriminasi terhadap perempuan.Gadis kurus berambut kemerahan yang tubuhnya dibalut dengan celana jeans lusuh dan kaos ketat ini menganggap seks bebas adalah hal yang wajar di kalangan mereka.

Enakan Polos…

  • Dengan malu-malu, Ginah mengatakan, ia pernah melakukan hubungan seks dengan beberapa temannya dan beruntung ia tidak pernah sampai hamil. Hal itu bukan berarti mereka memakai alat kontrasepsi, melainkan dengan teknik eksklusif yang ia sendiri tidak mau menjelaskan.

Berbagai jenis alat kontrasepsi yang banyak dianjurkan oleh pemerintah ternyata tidak diminati, meskipun mereka pernah mendengar. Para anak jalanan perempuan mengaku takut memakai alat-alat kontrasepsi. Selain, harga alat kontrasepsi tidak terjangkau oleh mereka.

Tanpa disadari, para anak jalanan tersebut telah melakukan kegiatan seks tidak aman . Mereka bebas berganti pasangan, tapi sangat jarang atau mungkin tidak ada laki-laki anak jalanan yang mau menggunakan kondom.

"Enakan polos, lagipula siapa yang mau beliin kondom. Sehari saya paling dapat lima ribu rupiah. Daripada buat beli kondom enakan buat makan," kata Monyong (17). Warga Purwokerto ini biasa ngamen di kawasan Malioboro. Ia memiliki banyak teman yang rata-rata berasal dari luar Yogya. Ada yang datang dari Jakarta, Bandung dan beberapa kota lain.

Sebagai anak jalanan ia tidak menetap di Yogya, kadang pindah ke Jakarta menumpang kereta barang secara gratis. Kehidupan tidak menentu itu dijalaninya setelah ia diusir dari rumah oleh ayah tirinya setahun lalu. Sejak saat itu, ia minggat dan terdampar di Yogya.

"Kadang saya juga pulang untuk nengok ibu. Saya tidak suka sama ayah tiri saya, karena dulu dia mengusir saya. Sudah ya saya mau ke stasiun mau ke Jakarta," sambil memegang alat musik dari rangkaian tutup botol. Monyong melenggang begitu saja menuju Stasiun Tugu. @ Suharso Rahman (Sri, Bardi, Santi).

Rumah Singgah untuk Transaksi Seks..!

  • Heru, Humas RSUP Dr. Sardjito mengakui sulit untuk mengetahui angka pasien kelompok anak jalanan yang berobat di rumah sakit pemerintah ini. Sebab, pendataan di medical record hanya mencakup aspek jenis kelamin, kelompok usia, dan jenis penyakit.

"Mungkin saja naka jalanan ini pernah menjadi pasien ataupun berobat jalan di RSUP Dr. Sardjito, tapi dalam medical record masuk dalam kelompok mana, kita kurang tahu, " jelas Heru.

Heru menambahkan bahwa RSUP Dr. Sardjito sebenarnya sudah memberikan pelayanan pada keluarga kurang mampu melalui program Gakin (Keluarga Miskin) yang dananya berasal dari pemerintah pusat.

"Anak jalanan dapat saja memanfaatkan fasilitas Gakin, dengan catatan menunjukkan bukti surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat dimana domisili terakhir dari anak jalanan ini," katanya.

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah mengupayakan sejumlah solusi untuk menangani persoalan anak jalanan, diantaranya pengadaan rumah singgah. Sayangnya, alternatif rumah singgah ini kurang peminat.

Menurut Ketua Yayasan Insan Mandiri Nyadi Kasmoredjo, yang mengelola Rumah Singgah Anak Mandiri (RSAM), pihaknya kesulitan mengajak anak jalanan ke RSAM. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak uang yang diperoleh di jalan, anak jalanan susah diajak ke rumah singgah. "Mereka hanya datang dalam kondisi sakit atau butuh pertolongan cepat," ujar Nyadi.

Namun, ada juga anak jalanan yang mendatangi RSAM dengan sukarela atau lewat pendekatan pekerja sosial di jalanan . "Kami melakukan pembinaan dan menyediakan beasiswa hingga SMA bagi anak jalanan yang serius," ujar mantan wartawan salah satu koran lokal itu.

Tak Cukup Pendampingan…

  • Sayangnya, RSAM yang dikelola Nyadi hanya terfokus pada anak jalanan laki-laki. Ia mengaku enggan mengelola rumah singgah untuk anak jalanan perempuan karena berisiko.

Nyadi menceriterakan bahwa sebuah rumah singgah untuk anak jalanan perempuan di Yogya terbukti dijadikan tempat transaksi seks. Ia menyebut nama Ghifari Putri.

Tuti Sulistyowati, Penanggung jawab Program di Ghifari Putri membenarkan hal ini ketika dikonformasi secara terpisah. Menurut Tuti yang berjilbab ini, pihaknya pernah mendirikan rumah singgah di sekitar kawasan terminal tahun 1999.

Lewat program yang dibuat dengan kucuran dana APBN ini diharapkan anak jalanan mendapatkan tempat untuk bernaung. Namun, daam kenyataannya, rumah singgah itu justru menjadi tempat transaksi seksual dan jual beli narkoba.

Rumah singgah ini akhirnya dibubarkan seiring dengan gencarnya aktivitas dari kelompok radikal Islam yang melakukan sweeping di sejumlah lokalisasi di Yogya. Meski rumah singgah bubar, bukan berarti aktivitas Ghifani Putri terhenti. Anak jalana perempuan tetap bisa menyandarkan pada Ghifani Putri, tetapi ada sejumlah kebijakan yang diubah.

"Komponen penanganan anak jalanan yang tercantum dalam APBN terbukti tidak memberikan solusi, " ujar Tuti. Komponen yang dimaksud adalah pemberian beasiswa , pelatihan, pemberian modal usaha, bimbingan motivasi, dan bimbingan kesehatan.

Menurut Tuti, dari semua komponen tersebut yang bisa berfungsi hanya sebats pendampingan anak jalanan, bukan memberikan solusi pada pengentasan anak jalanan itu sendiri, khususnya untuk anak jalanan perempuan. "Anak jalanan perempuan tak butuh sekedar didampingi, " ungkap Tuti.

Celana Dalam Seminggu…

  • Kasus anak jalanan yang hamil, menurut Tuti merupakan persoalan yang tak bisa dicarikan solusi lewat komponen APBN. Karena itu, pihaknya kemudian mencoba mencarikan solusi lewat rumah transit.

Rumah ini dirancang untuk menampung anak jalanan yang hamil karena perilaku seks bebas, hingga ia melahirkan dan cukup mandiri untuk kembali ke masayrakat. Namun, mengikuti aturan normatif, Ghifari Putri juga memikirkan untuk menikahkan anak jalanan perempuan yang hamil. Tuti mengaku bahwa ini bukan pekerjaan gampang.

Mula-mula ia harus mencari pengakuan kepada anak jalanan tersebut, siapa laki-laki yang menghamilinya. Jika hubungan seks hanya dilakukan dengan satu pasangan jawaban atas pertanyaan ini tak terlalu sulit. Tapi, lain soal jika hubungan tersebut dilakukan dengan banyak pasangan.

Solusinya, Tuti meminta anak jalanan tersebut mengingat laki-laki yang membangkitkan mood-nya. Jika laki-laki tersebut ketemu, maka persoalan kedua sudah menghadang. Tuti harus mengurus surat nikah untuk keduanya. Jika keduanya belum cukup umur, maka Tuti juga harus melakukan penggantian umur.

Selain masalah kehamilan, persoalan lain yang dihadapi anak jalanan perempuan adalah kesehatan reproduksi . Kesadaran kebersihan di kalangan anak jalanan perempuan yang dihadapi Tuti juga sangat minim. Tuti menceriterakan anak jalanan yang diasuhnya tidak berganti celana dalam selama satu minggu penuh. Setiap hari, celana dalam ini hanya dibolak-balik sampai tampak kehitaman. Padahal, Tuti sudah memberikan tiga celana dalam yang bisa dipakai untuk ganti.

"Sejumlah anak juga sering mengeluh gatal-gatal," ujar Tuti. Yang dimaksud gatal-gatal oleh Tuti adalah gatal-gatal disekitar vagina. Setelah diperiksa oleh petugas kesehatan, gatal-gatal ini ternyata merupakan gejala infeksi menular (IMS).

Lucunya, menurut Tuti, seorang anak jalanan laki-laki pernah datang ke Ghifari untuk meminta pertanggungjawaban saat penisnya mengalami gatal-gatal. Ia menuduh bahwa anak jalanan perempuan di Ghifari yang menyebabkannya.

Posisi anak jalanan perempuan tampak semakin marjinal dengan tudingan ini. Sayangnya, penyuluhan mengenai hubungan hubungan seks sehat di kalangan anak jalanan, khususnya sosialisasi penggunaan kondom, untuk anak jalanan justru kurang mendapat dukungan dari Nyadi. Menurut laki-laki ini, rambu-rambu agama sudah cukup untuk menghentikan perilaku seks bebas anak jalanan. "Paling-paling, anak jalanan disini hanya melakukan onani," ujar Nyadi.@

Asal Tidak ke Lokalisasi, Aman…

  • Dapat dipahami, jika para anak jalanan Yogya sangat minim pengetahuan tentang risiko seks bebas tidak aman, karena sebagian besar anak jalanan mengatakan tidak pernah ada yang memberitahu.

Pengamen jalanan di sekitar toko buku Gramedia, Gondrong (25), ketika ditanya tentang AIDS, berekspresi seperti orang yang baru mendengar kata-kata jorok. Senyum-senyum malu atau kadang menggeleng. Tetapi, ketika didesak dengan dibujuk, Gondrong pun mau berceritera.

Mneurut pengetahuannya, HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak ada obatnya dan didapat dari Pekerja Seks Komersial (PSK). Sedangkan ketika ditanya apakah ada sumber lainnya, seperti jarum suntik atau sumber lainnya, ia malah bengong. Yang jelas dengan lugu Gondrong berceritera bahwa kalau tidak mau mendapat penyakit HIV, jangan berkunjung ke lokalisasi.

Sebelum mendengar tentang HIV/AIDS, Gondrong mengaku pernah berkunjung ke lokalisasi Pasar Kembang –populer dengan istilah Sarkem—di Yogya, bersama beberapa temannya. Sata ini pun mereka masih sering mengajak, tetapi dia selalu menolak karena takut terkena penyakit kelamin.

"Penyakit kelamin itu sifilis, sama kencing suka perih, kalau AIDS saya nggak tahu. Cuma kata teman, yang pernah datang di rumah singgah, itu tidak ada obatnya," paparnya yakin . Tetapi, sama sekali tidak dijelaskan mengapa HIV/AIDS bukan termasuk dalam golongan penyakit kelamin.

Gondrong, tidak ingin tahu ebih jauh tentang HIV/AIDS karena ia tidak tertarik dan merasa sudah aman dengan tidak pernah lagi ke lokalisasi. Apalagi saat pertama kali berhubungan seks, ia tidak memasukkan penisnya ke dalam vagina PSK. Ia hanya meremas dan menciumi payudara si PSK, sehingga dia yakin tidak pernah mengalami penyakit kotor.

Bagaimana halnya, dengan ciblek? Dengan tersenyum kecut ia mengaku suatu malam sata pulang mengamen sengaja mencari ciblek atau yang lebih populer disebut perek, di sekitar Sarkem. Yaitu anak-anak remaja tanggung yang bisa diajak berkencan dengan memberikan imbalan tertentu, kadang-kadang juga atas dasar suka sama suka.

"Maunya yang cakep tetapi karena duitnya ndak cukup, terpaksa dapat yang pas-pasan. Hanya pegang sama cium aja kok mas," jelas Gondrong lagi-lagi dengan tersenyum sambil menjelaskan bahwa ia tidak mau terkena Infeksi Menular Seksual (IMS).

Anak jalanan seperti Gondrong, cukup banyak jumlahnya di Yogya. Menurut Eko Prasetyo dari Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Yogyakarta yang terlibat dalam program Mobil Sahabat Anak, saat ini terdapat 1.812 anak jalanan Yogya dan tersebar di 91 titik, dan yang seperti Gondrong bisa dihitung dengan jari.@

http://www.kompas.com/kesehatan/news/0209/02/235300.htm

hmmmm....

ciuhiiiiiiiiiiiiii

Tuesday 24 July 2007

pathologis

HUBUNGAN ANTARA LATAR BELAKANG PSIKOLOGIS DAN LATAR BELAKANG EKONOMI DENGAN KECENDERUNGAN PSIKOPAT PADA ANAK JALANAN DI RUMAH SINGGAH MELATI SALATIGA

PENDAHULUAN

Penelitian ini berawal dari keprihatian pada anak jalanan yang jumlahnya semakin meningkat karena faktor psikologis, ekonomi maupun sosial yang pada akhrinya meninbulkan berbagai dampak negative seperti halnya munculnya prilaku psikopat. Menurut Manik ( 1997 ), apabila anak didalam proses perkembangannya mengalami kesulitan dan gangguan, sebagaimana anak – anak jalanan maka kecenderungan yang muncul ke permikaan kemungkinan besar adalah kerawanan.

Menurut Page ( 1987 ), tindakan psikopat yang tidak normal terletak pada bentuk ketidakmampun menahan keinginannya, tidak mampu menyesuaikan diri dengan etika serta standart sosial yang berlaku. Kepribadian orang yang psikopat salah satu dikategorikan dengan prilaku agresi, wakaupun belum tentu setiap prilaku agresi selalu menimbulkan psikopat.

Ciri – ciri psikopat menurut Rathus ( 1991 ) adalah (1)sebelm usia 15 tahun ditunjukkan minimal 3 dari sifat ini ; melarikan diri, sering melakukan perkelahian fisik, mencari musuh, memaksa melakukan tindakan seksual, kekejaman fisik terhadap orang atau binatang, secara sengaja merusak barang milik orang lain. (2) letidakmampuan menggunakan kesempatan bekerja dengan tidak masuk kerja atau memperpanjang waktu untuk tidak bekerja. (3) agresif dan cepat marah. (4) mebngesampingkan kebenaran.

DSM-III mendiagnosa psokopat dengan ciri – ciri (1) jika paling sedikit ada dua bentuk penyimpangan tingkah laku, seperti pencurian, pengrusakan atau prilaku agresif sebelum usia 15 tahun; (2) jika paling sedikit ada tiga prilaku yang bermasalah, seperti ketidakbertanggungjawaban financial, liar, telah masuk dunia kerja sejak berumur 15 atau kebih dari 5 tahun dengan masalah yang dihadapi; (3) tingkah laku tidak disertai mental lain.

Menurut Carson ( 1980 ) ada tiga faktor seseorang menjadi psikopat, yaitu (1) faktor konstitusional, yang meliputi mekanisme yang menghalamgi sistem syaraf pusat, kurangnya dorongan emosi yang beresiko; (2) faktor keluarga, yang meliputi kehilangan orang tua sejak kecil, depresi emosi, tekanan orang tua dalam berinteraksi. (3) factor kultur social yang kurang sehat.

Psikopat pada anak sama halnya dengan orang dewasa yang menampakkan impulsive, sosial, agresi, tidak mempunyai perasaan bersalah dan kurang bias menjalin hubungan dengan orang lain ( Bender dalam Wolman, 1992 ). Selanjutnya Lowry ( dalam Wolman 1997 ) menyatakan bahwa banyak reaksi yang dimunculkan oleh individu yakni impuks, rigid, tidak mengambil pelajaran pada masa lalu dan kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan.

Anak – anak jalanan terbiasa dengan kehidupan jalanan yang penuh dengan kekerasan menjadi rawan terhadap penyimpangan prilaku. Manik ( 1997 ) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak turun ke jalan karena faktor psikologis dan ekonomi. Hal senada juga diungkapkan oleh Sriyuningsih dan Subowo ( 1998 ) ank turun ke jalan karena faktor psokologis, ekonomi dan sosial.

Hawari (1997) menyatakan bahwa anak yang mempunyai masalah dalam tumbuh kembangnya tidak jarang dari ,mereka yang masih kecil bika kelak dewasa akan memperlihatkan berbagai prilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan tindakan kriminal. Menurut Derajat (1983) secara psikis manusia tidak terpenuhi kebutuhannya, maka akan mendorong sesuatu. Hal ini juga didukung oleh Scheiders ( dalam Ma ‘ ani, 1996 ) yang menyatakan bahwa seseorang yang secara psikologis tidak terpenuhi kebutuhannya akan melakukan tindakan yang tidak wajar dan sebaliknya.

Anak di dalam proses perkembangannya apabila mengalami kesulitan dan gangguan, senagaimana anak jalanan, maka kecenderungan yang muncul ke permukaan adalh kerawanan. Kerawanan itu dikondisikan oleh kehidupan jalanan yang cenderung bebas ( Manik, 1997 ). Hal senada juga diungkapkan oleh Wirawan ( dalam Sriyuningsih dan Subowo, 1998 ) yang menyaakan bahwa anak usia muda sebetulnya merupakan anak yang paling rawan dan membutuhkan perhatian yang intensif.

Menurut Vembrianto (1981) pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang paling ekonomis sehingga dalam hidup memegang prinsip pengorbanan yang sekecil – kecilnya mendapat hasil yang sebesar – besarnya. Ketidakmampuan ekonomi atau kemiskinan memberi dampak negative. Factor ekonomi yang rendah membuat adanya kecenderungan untuk berprilaku antisocial ( Thorsten dalam Attini 1994 ).

Masalah yang membelit kehidupan anak – anak jalanansetiap hari dan bersamaan dengan pengaruh buruk kehidupan jalanan, timbulnya kerawanan bahkan keadaan yang membahayakan dan kecenderungan prilaku pathologis lainnya.